Jakarta – Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Sejak jaman Hindia Belanda sampai saat ini, Indonesia menjadi negara produsen kopi terbesar ke empat setelah Brazil, Kolombia dan Vietnam. Sebelumnya posisi Indonesia berada pada posisi ketiga.
”Untuk itu kita patut dan perlu lebih me-naruh perhatian terhadap Vietnam sebagai negara produsen kopi yang sangat agresif saat ini. Kopi Vietnam telah membanjiri kopi di pasar dunia dan berhasil menggeser posisi Indonesia dari posisi ketiga menjadi keempat sebagai produsen kopi di dunia,” ujar Menperindag Rini Suwandi, beberapa waktu lalu..
Keberhasilan Vietnam antara lain disebabkan tingginya produktivitas dalam budi daya kopinya yang mencapai 1,8 ton per hektare. Sedangkan produktivitas budi daya kopi Indonesia hanya mencapai 0,58 ton per hektare. Sementara itu perdagangan dunia didominasi kopi jenis Arabika (70 persen) dan Robusta (30 persen). Sedangkan kopi yang ditanam di Indonesia jenis Arabika (10 persen) dan Robusta (90 persen).
Indonesia dan Vietnam memang merupakan dua negara produsen kopi terbesar di du-nia, setelah Brasil. Di Indonesia sendiri, Sulawesi Selatan (Sulsel) merupakan salah satu daerah sentra produksi kopi dengan luas areal penanaman mencapai 61.285 hektare. Berdasarkan dari Disbun Sulsel, rata-rata produksi kopi Sulsel setiap tahunnya mencapai 18.000 ton.
Asosiasi pengusaha kopi Indonesia sudah menandatangani kesepakatan pengaturan teknis (technical arrangement) volume produksi dan volume ekspor kopi, khususnya kopi robusta, dengan pengusaha Vietnam. Dengan pengaturan teknis itu, diharapkan harga kopi robusta dapat meningkat. Menurut Ketua Umum Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Hasan Wijaya, harga kopi robusta sekarang ini hanya 60 sen US$ per kg, sementara harga kopi arabika mencapai US$ 1,75/kg.
Menurut Hasan, harga kopi robusta sekarang ini masih rendah, karena adanya permainan pedagang. “Kita selalu dipermainkan dan diadu domba dengan produsen dari negara lain, seperti Vietnam sehingga harga tidak naik,” katanya.
Jika harga kopi robusta mencapai satu dolar AS per kg, diharapkan harga kopi di tingkat petani pun dapat naik menjadi Rp 5.000-Rp 6.000 per kg. Sekarang ini, harga jual kopi di tingkat petani baru sekitar Rp 3.700 per kg. Untuk itu, sarannya, pengusaha kopi Indonesia dan Vietnam akan mengurangi produksi hingga mencapai 50 persen secara bertahap. “Tahapan- tahapannya dan besarannya masih akan kami negosiasikan. Yang penting, harga dapat naik secara bertahap,” katanya.
Produksi kopi di Vietnam sekarang ini lebih kurang 600.000 ton. Produksi kopi Viet-nam sempat mencapai 900.000 ton tahun 2001-2002. Sementara itu, produksi kopi di Indonesia sekarang ini sekitar 350.000 ton. “Sebanyak 100.000 ton sampai 120.000 ton untuk konsumsi lokal,” katanya.
Sementara menurut beberapa pelaku bisnis kopi nasional, kesepakatan mengangkat harga kopi itu sulit direalisasikan karena sebenarnya tidak diketahui stok atau produksi kopi, baik di Indonesia maupun di Vietnam. Kalau tidak diketahui secara pasti, bagaimana kesepakatan untuk mengurangi produksi dapat dilaksanakan.
Dominan Robusta
Umumnya petani di Indonesia menanam kopi jenis robusta, yang belakangan ini harganya memang rendah. Sementara kopi jenis arabika hanya ditanam sebagian kecil petani. Padahal, harga kopi arabika di pasar dunia masih tetap tinggi. Di pasar dunia saat ini kopi robusta sedang membanjiri pasaran, terutama kopi robusta produksi Brasil dan Vietnam. Kopi jenis ini umumnya ditanam petani di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Provinsi Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan. Kopi arabika hanya ditanam oleh kurang dari 10 persen petani kopi di tiga kawasan itu.
Kopi arabika di Indonesia umumnya ditanam petani di Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Petani-petani penanam kopi arabika mendapat penghasilan lebih baik karena produksi dunia tidak melimpah seperti kopi robusta. Dengan sendirinya harga kopi itu pun stabil.
Sedikitnya lahan yang ditanami kopi arabika oleh petani Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung, merupakan kesalahan dalam menentukan pilihan. Mungkin karena pengaruh petani lain, ratusan ribu petani di tiga provinsi itu lebih memilih menanam kopi robusta.
Kebetulan pula, petani di Brasil dan Vietnam umumnya menanam kopi sejenis pula. Akibatnya, ketika musim panen berlangsung bersamaan dengan panen di dua negara itu dan negara produsen lain, harga pun bersaing keras. ”Suplai kopi lebih besar dibandingkan dengan permintaan sehingga harga pun anjlok. Kopi dari Indonesia harus bersaing dengan kopi dari negara lain.
Menurut data, harga kopi robusta ditentukan oleh bursa kopi di London, dan Inggris. Sementara kopi arabika ditentukan oleh bursa kopi di New York, Amerika Serikat (AS). Produksi yang melimpah itulah yang membuat harga kopi tertekan. Bagi petani Indonesia, harga kopi yang tertekan akibat kelebihan produksi itu makin menyulitkan pemasaran. Hal ini disebabkan produsen kopi negara lain berani menjual dengan harga lebih murah dibanding kopi asal Indonesia.
Daftar Hitam
Soal produksi, bandingkan dengan petani Bengkulu, Pagar Alam, Lahat, atau Lampung. Di sentra-sentra produksi kopi tersebut, produksinya paling tinggi 500 kilogram per hektar. Sementara di Vietnam mampu menghasilkan dua ton biji kopi kering per hektar.
Dengan penghasilan lebih tinggi, tentu saja petani Vietnam hidup lebih layak. Itu terwujud berkat kegigihan mereka mengolah dan merawat kebun jauh lebih baik dibandingkan dengan petani di Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat. Ditambah dengan mutu yang lebih bagus, kopi Vietnam lebih mampu menembus pasar dunia.
Kopi Indonesia memang masih tetap dikapalkan ke berbagai negara oleh para eksportir. Namun, mereka harus menanggung kerugian tidak sedikit, karena harga jual di luar negeri lebih rendah dibandingkan dengan harga pembelian dari pedagang pengumpul.
Untuk kembali modal saja sulit bagi eksportir. Mereka masih menjual kopi kepada pembeli luar negeri karena sebelumnya terikat kontrak jual beli. Kalau eksportir ingkar janji, mereka akan dimasukkan daftar hitam. Ini akan menyulitkan usaha ke depan.
Para eksportir kopi di Sumatera bagian selatan kebanyakan berada di Lampung. Mereka membeli kopi dari ratusan pedagang pengumpul yang dari Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Karena banyak pedagang yang datang menjual kopi mereka, eksportir pun bisa membeli dengan selisih harga yang tidak terlalu menganga dengan harga jual rugi kepada pembeli asing.
Menurut data Humas AEKI Provinsi Lampung, hingga April 2003, ekspor kopi Lampung lebih dari 49.000 ton dengan nilai ekspor lebih dari 30 juta dolar AS. Jumlah sebanyak itu naik sekitar 5.000 ton jika dibanding-kan dengan periode yang sama tahun 2002 yang 44.600 ton dengan nilai ekspor 18,5 juta dolar AS.
Semestinya produksi kopi asal Lampung dapat ditingkatkan karena kawasan tersebut memiliki lahan dan iklim yang pas untuk kopi. Namun karena buruknya harga kopi di pasar dunia, petani pun enggan mengurus tanaman mereka. Saat ini di Lampung terdapat sekitar 141. 500 hektare tanaman kopi yang menghasilkan, dan sekitar 12.400 hektare kebun yang belum menghasilkan. Dari total luasan itu, setiap tahun diperkirakan total produksi kopi Lampung 150.000 ton, dengan asumsi rata-rata per hektare kebun menghasilkan 700 kg hingga 800 kg kopi.
Hal itu berbeda dengan petani Vietnam yang mengolah lahan mereka lebih baik sehingga mampu memproduksi lebih dari tiga ton kopi per hektare. Meski pasar dalam negeri tidak mampu menyerap semua produksi tersebut, Vietnam masih memiliki peluang besar menjual produksi kopi di pasar dunia dengan harga lebih rendah.
Tapi produsen kopi yang hanya berorientasi lokal tak terlalu khawatir sebab kebutuhan konsumen dalam negeri lumayan tinggi. Bukan hanya kopi merek tertentu yang bergelimang untung, tapi juga produsen kopi tak bermerek, ikut berkibar. Lihat saja, bagaimana konsumen Jakarta, misalnya, menyukai kopi sidikalang atau kopi medan dan sebagainya. Kebutuhan masyarakat pada kopi tanpa merek tersebut sudah sejak dulu. Sayangnya data akurat seberapa besar serapan produksi lokal pada pasar lokal, tidak terdapat di instansi resmi sekalipun!